Di pantai yang sama, beberapa wanita muslim muda sedang mengikuti latihan penyelamat pantai, sebagai bagian program negara seharga 600 ribu dollar, yang ditujukan mencerminkan ragam perbedaan di Australia. Banyak penyelamat pantai mengenakan burqini merah dan kuning, pakaian renang tertutup layaknya penyelam. Kostum ini membuat mereka mampu bertugas di garis pantai Australia penuh karang dan arus keras, namun tetap menjalankan perintah agama, menutup aurat.
Lalu di Pantai Cronulla, Selatan Sidney itu menjadi riuh pada Desember 2005, ketika ribuan Warga Australia keturunan Anglo-Saxon menuju pantai dalam rangka aksi anti-muslim, menghasilkan blokade pantai. Kerumunan besar orang berjumlah 5.000 orang, bersatu dalam teriakan dan pesan-pesan spanduk. Mereka berkali-kali meneriakkan kalimat seperti "wog-free-zone (zona bebas kulit berwarna), ''unit pembersihan etnis'' dan ''Lebs go home,'' mengacu pada sekitar 250 ribu warga Australia keturunan Libanon.
Bahkan sejumlah remaja Australia kulit putih mencoretkan kalimat , "Kami Tumbuh di sini, Kalian Terbang dari sini," dengan spidol besar hitam di dada mereka. Itu menjadi salah satu kampanye nyata menyerang imigran non-kulit putih yang mulai kerap datang ke pantai, khususnya kepada populasi muslim yang mulai berkembang di negri kangguru tersebut.
Salah satu hasil kerusuhan tersebut, para wanita muslim menjadi bulan-bulanan politik. Retorika terkait anti-Muslim yang dilontarkan oleh politikus dan media berada di balik topeng perhatian seolah-olah melindungi wanita Muslim. Politisi tiba-tiba menjadi feminis, membicarkan ''wanita kita'' dan ''wanita mereka'' dalam kampanye membebaskan wanita muslim dari apa yang mereka anggap, "agama pembenci wanita''.
.Australia memiliki sejarah rasisme yang panjang. Mulai dari sejak pendirian negara pada 1901 hingga pertengahan 1970-an, pemerintah Australia, menerapkan kebijakan "Australia Putih". Setelah menerima banyak imigran dari Italia dan Asia, baru negara itu meningkatkan kebijakan majemuknya. Namun debat publik tak pernah usai, kekhawatiran aliran imigran Asia akan menguasai Australia kerap dilontarkan, khususnya dari kelompok sayap kanan, Partai Satu Bangsa.
Terlepas dari perdebatan tersebut, wanita muslim, menjadi target serangan fisik bahkan jilbab mereka kerap direnggut paksa di jalan-jalan. Ketika debat atas jilbab sebagai simbol isu besar xenophobia (ketakutan terhadap orang asing) di masyarakat Australia merebak, banyak muslim Australia merasa kesempatan mereka mengekspresikan diri mereka diingkari.
"Jilbab ini adalah identitas saya, dan saya damai dengan ini," ujar Mahboba Rawi, 38 tahun, seorang muslim yang tinggal di, suburb Ryde, Sidney seperti yang dikutip oleh The Indypendent Kamis, 15 Februari.
Lahir di Kabul, Rawi meninggalkan Afghanistan pada usia 14 tahun, melarikan diri dari hukum pemerintah Soviet setelah ia memimpin protes menentang invasi Rusia. Tanpa paspor dan sedikit uang, Rawi melintas menyeberangi gunung dari Kabul menuju Peshawar, Pakistan, lalu ke India sebelum akhirnya menikah dan datang ke Australia sendiri pada 1984, dalam usia 16 tahun.
Di Sidney, Rawi pun mendirikan Mahboba's Promise, yayasan bantuan yang memberikan makanan, perlindungan, perawatan medis, dan pendidikan kepada janda dan anak-anak di Afghanistan. Meski kerja kemanusiaan ia lakukan di tanah kelahiran, ia selalu pulang ke Australia.
"Saya mencintai negeri ini," ujar Rawi merujuk pada Australia,"dari awal saya menapak di atas tanahnya,"
Sejak tiba dua dekade lalu, ia pun mengorganisasi program bahasa Inggris dan pelajaran berenang bagi para wainta di suburb barat Sidney. "Berbicara saja tidak cukup," ujarnya tegas. "Itu pekerjaan sulit untuk membuat orang memahamimu, apa yang saya lakukan ialah sedikit bantuan untuk menunjukkan jika kami pun orang normal seperti yang lain," ujar Rawi.
Bagi Rawi, awal ia mengenakan jilbab bukanlah hal mudah. Ia mulai memakai itu ketika di Australia saat anak lelaki pertamanya meninggal dalam kecelakaan tragis di landmark Kiama Blowhole, sekitar 75 mil dari Sidney. Ia mengaku jilbab membawanya lebih dekat dengan Tuhan.
Ia pun menyatakan niat berjilbab itu tak dipengaruhi suami, ayah, ataupun saudara-saudaranya. "Begitu banyak muslim suka mengenakan jilbab, dan orang tidak menyadari itu. Anda tampil berwarna. Ini fesyen kami, identitas kami, budaya kami, dan agama kami," kata Rawi.
Rawi juga mempercayai jika penentengan dan tindak kekerasan terhadap wanita musim Australia lebih terkait opini publik ketimbang tradisi budaya Australia.
Ia menyalahkan kritik terhadap jilbab di pembicaraan radio, editorial suratkabar yang menyebabkan menghilangnya wanita muslim dari tempat-tempat publik di Sidney. Ia pun takut meninggalkan rumahnya karena tindak kekerasan terhadap wanita muslim berjilbab. "Ini membatasi wanita muslim, membuat mereka terpenjara dalam rumah mereka sendiri,"ujar Rawi. "Setelah tinggal dua puluh tahun di negara ini, baru sekarang saya merasa ngeri dengan tingkat kebencian yang sebelumnya tak pernah ada," imbuhnya.
Konsekuensi berjilbab di Australia, seperti halnya di negara-negara non muslim lain yakni Perancis dan beberapa negara barat, memang tidak sederhana. Pengarang buku "Does My Head Look Big in This?" Randa Abdel Fattah mengatakan ia berhenti mengenakan jilbab karena kesulitan mencari pekerjaan.
Mengikuti kerusuhan pantai Cronulla, pada Oktober 2006, pemerintah oposisi pemerintah, Kim Beazly mengusulkan klausul aturan dalam aplikasi visa Australia, yakni pemohon visa harus memiliki nilai-nilai Australia. Usulan ini pun menuai kritik keras, karena mengalihkan fokus dari masalah internal Australia, dan menjadikan orang luar sebagai pihak yang ditakuti dan dikontrol.
Taghred Chandab, 29, seorang jurnalis dan pengarang penerima penghargaan atas buku berjudul The Glory Garage--buku tentang imigran muslim Libanon di Australia, menyatakan usulan tersebut mengerikan dan mengganggu, serta meragukan apakah banyak orang kulit putih kelahiran Australia juga lulus tes " nilai-nilai Australia'' tadi.
''Terpisah dari kriket, mengenakan tank top, dan celana dalam, yang selalu menjadi stereotip indentitas mereka, seseorang tidak boleh memberi satu label untuk menjadi seorang Australia," ujarnya. "Menjadi seorang warga Australia meliputi banyak nilai, yang saya yakini, bersifat umum dan dapat diaplikasikan di seluruh negara," tegas Chandrab.(republika.co.id)
Lalu di Pantai Cronulla, Selatan Sidney itu menjadi riuh pada Desember 2005, ketika ribuan Warga Australia keturunan Anglo-Saxon menuju pantai dalam rangka aksi anti-muslim, menghasilkan blokade pantai. Kerumunan besar orang berjumlah 5.000 orang, bersatu dalam teriakan dan pesan-pesan spanduk. Mereka berkali-kali meneriakkan kalimat seperti "wog-free-zone (zona bebas kulit berwarna), ''unit pembersihan etnis'' dan ''Lebs go home,'' mengacu pada sekitar 250 ribu warga Australia keturunan Libanon.
Bahkan sejumlah remaja Australia kulit putih mencoretkan kalimat , "Kami Tumbuh di sini, Kalian Terbang dari sini," dengan spidol besar hitam di dada mereka. Itu menjadi salah satu kampanye nyata menyerang imigran non-kulit putih yang mulai kerap datang ke pantai, khususnya kepada populasi muslim yang mulai berkembang di negri kangguru tersebut.
Salah satu hasil kerusuhan tersebut, para wanita muslim menjadi bulan-bulanan politik. Retorika terkait anti-Muslim yang dilontarkan oleh politikus dan media berada di balik topeng perhatian seolah-olah melindungi wanita Muslim. Politisi tiba-tiba menjadi feminis, membicarkan ''wanita kita'' dan ''wanita mereka'' dalam kampanye membebaskan wanita muslim dari apa yang mereka anggap, "agama pembenci wanita''.
.Australia memiliki sejarah rasisme yang panjang. Mulai dari sejak pendirian negara pada 1901 hingga pertengahan 1970-an, pemerintah Australia, menerapkan kebijakan "Australia Putih". Setelah menerima banyak imigran dari Italia dan Asia, baru negara itu meningkatkan kebijakan majemuknya. Namun debat publik tak pernah usai, kekhawatiran aliran imigran Asia akan menguasai Australia kerap dilontarkan, khususnya dari kelompok sayap kanan, Partai Satu Bangsa.
Terlepas dari perdebatan tersebut, wanita muslim, menjadi target serangan fisik bahkan jilbab mereka kerap direnggut paksa di jalan-jalan. Ketika debat atas jilbab sebagai simbol isu besar xenophobia (ketakutan terhadap orang asing) di masyarakat Australia merebak, banyak muslim Australia merasa kesempatan mereka mengekspresikan diri mereka diingkari.
"Jilbab ini adalah identitas saya, dan saya damai dengan ini," ujar Mahboba Rawi, 38 tahun, seorang muslim yang tinggal di, suburb Ryde, Sidney seperti yang dikutip oleh The Indypendent Kamis, 15 Februari.
Lahir di Kabul, Rawi meninggalkan Afghanistan pada usia 14 tahun, melarikan diri dari hukum pemerintah Soviet setelah ia memimpin protes menentang invasi Rusia. Tanpa paspor dan sedikit uang, Rawi melintas menyeberangi gunung dari Kabul menuju Peshawar, Pakistan, lalu ke India sebelum akhirnya menikah dan datang ke Australia sendiri pada 1984, dalam usia 16 tahun.
Di Sidney, Rawi pun mendirikan Mahboba's Promise, yayasan bantuan yang memberikan makanan, perlindungan, perawatan medis, dan pendidikan kepada janda dan anak-anak di Afghanistan. Meski kerja kemanusiaan ia lakukan di tanah kelahiran, ia selalu pulang ke Australia.
"Saya mencintai negeri ini," ujar Rawi merujuk pada Australia,"dari awal saya menapak di atas tanahnya,"
Sejak tiba dua dekade lalu, ia pun mengorganisasi program bahasa Inggris dan pelajaran berenang bagi para wainta di suburb barat Sidney. "Berbicara saja tidak cukup," ujarnya tegas. "Itu pekerjaan sulit untuk membuat orang memahamimu, apa yang saya lakukan ialah sedikit bantuan untuk menunjukkan jika kami pun orang normal seperti yang lain," ujar Rawi.
Bagi Rawi, awal ia mengenakan jilbab bukanlah hal mudah. Ia mulai memakai itu ketika di Australia saat anak lelaki pertamanya meninggal dalam kecelakaan tragis di landmark Kiama Blowhole, sekitar 75 mil dari Sidney. Ia mengaku jilbab membawanya lebih dekat dengan Tuhan.
Ia pun menyatakan niat berjilbab itu tak dipengaruhi suami, ayah, ataupun saudara-saudaranya. "Begitu banyak muslim suka mengenakan jilbab, dan orang tidak menyadari itu. Anda tampil berwarna. Ini fesyen kami, identitas kami, budaya kami, dan agama kami," kata Rawi.
Rawi juga mempercayai jika penentengan dan tindak kekerasan terhadap wanita musim Australia lebih terkait opini publik ketimbang tradisi budaya Australia.
Ia menyalahkan kritik terhadap jilbab di pembicaraan radio, editorial suratkabar yang menyebabkan menghilangnya wanita muslim dari tempat-tempat publik di Sidney. Ia pun takut meninggalkan rumahnya karena tindak kekerasan terhadap wanita muslim berjilbab. "Ini membatasi wanita muslim, membuat mereka terpenjara dalam rumah mereka sendiri,"ujar Rawi. "Setelah tinggal dua puluh tahun di negara ini, baru sekarang saya merasa ngeri dengan tingkat kebencian yang sebelumnya tak pernah ada," imbuhnya.
Konsekuensi berjilbab di Australia, seperti halnya di negara-negara non muslim lain yakni Perancis dan beberapa negara barat, memang tidak sederhana. Pengarang buku "Does My Head Look Big in This?" Randa Abdel Fattah mengatakan ia berhenti mengenakan jilbab karena kesulitan mencari pekerjaan.
Mengikuti kerusuhan pantai Cronulla, pada Oktober 2006, pemerintah oposisi pemerintah, Kim Beazly mengusulkan klausul aturan dalam aplikasi visa Australia, yakni pemohon visa harus memiliki nilai-nilai Australia. Usulan ini pun menuai kritik keras, karena mengalihkan fokus dari masalah internal Australia, dan menjadikan orang luar sebagai pihak yang ditakuti dan dikontrol.
Taghred Chandab, 29, seorang jurnalis dan pengarang penerima penghargaan atas buku berjudul The Glory Garage--buku tentang imigran muslim Libanon di Australia, menyatakan usulan tersebut mengerikan dan mengganggu, serta meragukan apakah banyak orang kulit putih kelahiran Australia juga lulus tes " nilai-nilai Australia'' tadi.
''Terpisah dari kriket, mengenakan tank top, dan celana dalam, yang selalu menjadi stereotip indentitas mereka, seseorang tidak boleh memberi satu label untuk menjadi seorang Australia," ujarnya. "Menjadi seorang warga Australia meliputi banyak nilai, yang saya yakini, bersifat umum dan dapat diaplikasikan di seluruh negara," tegas Chandrab.(republika.co.id)
No comments:
Post a Comment